Kemerdekaan Batin di Era Digital

 


Pernahkah Anda merasakan ini? Malam hari, setelah seharian beraktivitas, Anda membuka Instagram atau TikTok untuk sekadar bersantai. Namun, alih-alih santai, hati Anda justru terasa sesak. Anda melihat teman lama sedang berlibur di Eropa, kolega kerja memamerkan mobil barunya, atau seorang kenalan mengunggah foto keluarga yang tampak begitu sempurna.


Seketika, kamar yang tadinya nyaman terasa sempit. Pencapaian yang baru saja Anda syukuri seharian tadi seolah menguap. Muncul bisikan di dalam hati: "Kenapa hidupku begini-begini saja? Kapan ya aku bisa seperti dia?"


Selamat datang di fenomena "rumput tetangga selalu lebih hijau" versi abad ke-21. Jika dulu kita membandingkan diri dengan tetangga sebelah rumah, kini kita membandingkan diri dengan ratusan "tetangga" dari seluruh dunia yang tampil sempurna di layar ponsel kita. Ini adalah jebakan mental yang menguras energi dan merampas rasa syukur.


Lalu, adakah solusi untuk hati yang gelisah ini? Jauh sebelum media sosial ada, para ulama tasawuf telah mengajarkan sebuah konsep penawar yang luar biasa relevan: Zuhud.


Bukan Anti-Dunia, Tapi Merdeka dari Dunia

Tunggu dulu. Ketika mendengar kata "zuhud", mungkin yang terbayang adalah sosok yang meninggalkan dunia sepenuhnya, memakai pakaian sederhana, dan mengasingkan diri. Padahal, hakikat zuhud tidaklah sesempit itu.


Imam Ahmad bin Hanbal mendefinisikan zuhud bukan dengan tidak memiliki apa-apa, melainkan tidak membiarkan apa yang kita miliki menguasai hati kita.


Dalam konteks modern, zuhud bukanlah tentang membuang ponsel atau menghapus semua akun media sosial. Zuhud adalah tentang melatih hati agar tidak terpikat, terikat, dan diperbudak oleh gemerlap dunia yang tersaji di layar 5 inci itu. Inilah yang bisa kita sebut sebagai "Zuhud Digital".


Zuhud Digital adalah seni menggunakan teknologi tanpa menjadi hambanya. Ini adalah praktik berinteraksi dengan dunia maya, namun hati tetap berpijak pada dunia nyata dan berlabuh pada Sang Pencipta.


Cara Praktis Mencapai Kemerdekaan Batin

Bagaimana cara melatihnya? Berikut adalah beberapa langkah praktis untuk memulai:


1. Luruskan Niat Sebelum Scrolling Sebelum jari Anda membuka aplikasi, tanyakan pada diri sendiri: "Untuk apa saya membuka media sosial saat ini?" Apakah untuk menyambung silaturahmi, mencari informasi bermanfaat, atau sekadar mengisi waktu luang? Niat yang lurus akan menjadi benteng pertama agar kita tidak terseret arus perbandingan yang tak ada habisnya.


2. Melihat dengan 'Basyirah' (Mata Hati) Media sosial adalah panggung. Semua orang menampilkan babak terbaik dari drama kehidupannya. Latihlah diri Anda untuk melihat dengan basyirah atau mata hati. Di balik foto liburan yang indah, mungkin ada hutang kartu kredit yang menumpuk. Di balik foto keluarga harmonis, mungkin ada pertengkaran yang baru saja reda. Sadari bahwa yang Anda lihat hanyalah highlight reel, bukan kenyataan seutuhnya. Ini akan memadamkan api iri sebelum membesar.


3. Ganti Iri dengan Inspirasi, Padamkan dengan Syukur Setiap kali melihat unggahan yang memicu rasa iri, paksa diri Anda untuk melakukan dua hal:


Cari inspirasi: "Alhamdulillah, ia diberi rezeki seperti itu. Semoga saya juga bisa bekerja lebih cerdas untuk mencapai tujuan saya."

Fokus pada syukur: Segera alihkan pikiran pada 3 hal yang Anda miliki saat ini. "Dia punya mobil baru, tapi Alhamdulillah saya punya motor yang sehat untuk bekerja. Dia di Eropa, tapi Alhamdulillah saya bisa minum teh hangat dengan tenang di rumah malam ini." Syukur adalah penawar paling ampuh untuk penyakit 'merasa kurang'.

4. Praktikkan Kaidah Emas: "Dunia di Tangan, Bukan di Hati" Peganglah ponsel Anda, tapi jangan biarkan isinya masuk dan menguasai hati Anda. Jadikan ia alat, bukan tujuan. Nikmati informasi dan koneksi yang diberikannya, tapi jangan biarkan "jumlah like" atau "komentar" orang lain mendefinisikan harga diri Anda. Ketika notifikasi tidak lagi membuat Anda cemas dan pencapaian orang lain tidak lagi membuat Anda resah, saat itulah Anda mulai merasakan kemerdekaan sejati.


Merdeka untuk Bahagia

Tujuan akhir dari Zuhud Digital bukanlah untuk membenci dunia atau teknologi. Justru sebaliknya. Tujuannya adalah untuk mencapai kemerdekaan batin.


Bebas dari kebutuhan akan validasi. Bebas dari kecemasan akan ketinggalan (FoMO). Bebas untuk turut bahagia atas pencapaian orang lain tanpa merasa diri kita kecil.


Jadi, malam ini, saat Anda kembali memegang ponsel, cobalah untuk melihatnya dengan cara pandang yang baru. Lihatlah ia sebagai alat yang ada di genggaman, bukan sebagai penguasa yang mengendalikan perasaan. Dengan begitu, media sosial bisa kembali ke fungsi aslinya: sebagai sarana penyambung, bukan sebagai arena pembanding yang melelahkan.



Post a Comment

0 Comments