Cahaya Ilahi dalam Perspektif Foton dan Nur
Oleh: Asrul Sirajuddin
Pendahuluan
Cahaya, dalam bahasa fisika dikenal sebagai foton, adalah bentuk energi elektromagnetik yang memiliki sifat unik—bisa bersifat partikel, bisa juga sebagai gelombang. Namun dalam perspektif spiritual, khususnya dalam Islam dan tasawuf, cahaya atau "nur" bukan hanya fenomena fisik, tetapi juga merupakan simbol dari ilmu, kesadaran, dan kehadiran Ilahi.
Apakah mungkin menyandingkan antara cahaya fisika (foton) dan cahaya spiritual (nur)? Artikel ini akan mengajak pembaca menelusuri keterhubungan antara sains modern dan kebijaksanaan sufistik mengenai cahaya yang menerangi jiwa manusia.
Cahaya dalam Sains: Foton, Energi, dan Gelombang
Dalam ilmu fisika modern, cahaya terdiri dari partikel yang disebut foton—yaitu kuanta energi dari radiasi elektromagnetik. Beberapa fakta penting:
-
Foton tidak memiliki massa.
-
Bergerak dengan kecepatan cahaya (sekitar 300.000 km/detik).
-
Dapat berperilaku sebagai partikel atau gelombang tergantung konteksnya (prinsip dualitas).
Foton juga menjadi elemen penting dalam komunikasi antar sistem, baik melalui fiber optik, sinyal matahari ke bumi, maupun dalam sistem tubuh manusia.
Menariknya, sel tubuh manusia juga memancarkan cahaya lemah yang disebut bio-photon. Ini menunjukkan bahwa tubuh manusia bukan hanya materi padat, tetapi juga memancarkan energi halus.
Cahaya dalam Al-Qur'an dan Tasawuf
Dalam Islam, cahaya sering disebut dengan istilah "nur", dan disebutkan dalam banyak ayat, salah satunya yang paling terkenal:
"Allahu Nuurus-samawaati wal-ardh..."
Allah adalah Cahaya langit dan bumi… (QS. An-Nur: 35)
Ayat ini sering dikaji para sufi sebagai simbol kehadiran, pengetahuan, dan petunjuk Allah. Imam Al-Ghazali dalam kitab Mishkat al-Anwar menjelaskan bahwa cahaya fisik hanyalah bayangan dari cahaya hakiki yang datang dari Allah—yakni cahaya kesadaran ruhani.
Para sufi seperti Ibn 'Arabi bahkan menyebut bahwa seluruh alam ini adalah manifestasi dari cahaya-Nya yang berlapis-lapis. Semakin tinggi kesadaran ruhani seseorang, maka semakin terang cahaya yang ia pancarkan dan terima.
Keselarasan Sains dan Tasawuf: Frekuensi Nurani
Dalam sains kuantum, segala sesuatu dalam alam ini memiliki frekuensi—getaran yang menentukan bentuk dan karakter energi. Begitu pula dalam sufisme, hati manusia disebut memiliki getaran nurani yang bisa bersinergi atau terhalang tergantung dari kebersihannya.
Praktik dzikir dan tafakur dalam tasawuf diyakini mampu:
-
Menjernihkan hati dari kabut hawa nafsu.
-
Menyelaraskan "frekuensi batin" dengan cahaya Ilahi.
-
Membuka kesadaran terhadap realitas yang lebih halus (alam malakut).
Hal ini sejalan dengan konsep resonansi dalam fisika: ketika dua benda memiliki frekuensi yang sama, maka mereka akan saling menguatkan. Dzikir yang khusyuk ibarat menyelaraskan jiwa agar "beresonansi" dengan Nurullah.
Simbol Foton sebagai Nur Ilahi
Jika foton dalam sains adalah pembawa informasi, maka Nur Ilahi dalam tasawuf adalah pembawa makna dan petunjuk. Keduanya memiliki kemiripan filosofis:
Foton (Sains) | Nur (Tasawuf) |
---|---|
Membawa energi dan informasi | Membawa hidayah dan makrifat |
Bergerak secepat cahaya | Hadir seketika dalam hati |
Tidak bermassa | Tidak terikat dimensi fisik |
Menerangi ruang gelap | Menerangi hati manusia |
Kesimpulan
Meskipun berasal dari dua pendekatan berbeda—fisika dan tasawuf—keduanya menegaskan bahwa cahaya adalah kunci untuk memahami alam dan jiwa manusia. Dalam fisika, cahaya adalah energi murni. Dalam tasawuf, cahaya adalah tanda kehadiran Allah dalam diri hamba yang bersih dan ikhlas.
Dengan menggabungkan keduanya, kita bisa mendapatkan pandangan yang utuh: bahwa keilmuan dan keimanan bisa bersinergi untuk membawa manusia menuju cahaya kesadaran tertinggi.
0 Comments