Ketika Buruk Rupa Menjadi Cantik: Sebuah Perenungan Sufi tentang Persekongkolan dan Pengkhianatan
Ketika Buruk Rupa Menjadi Cantik: Sebuah Perenungan Sufi tentang Persekongkolan dan Pengkhianatan
Dalam panggung kehidupan, kita sering menyaksikan sebuah anomali yang membingungkan: keburukan yang dilakukan bersama-sama, dengan begitu kompak dan terstruktur, seolah mampu menyulap dirinya menjadi sebuah kebenaran. Di mata hukum dunia yang terkadang rapuh, persekongkolan jahat bisa tampil dengan jubah kewajaran, didukung oleh argumen yang dibangun rapi dan kesaksian yang seragam. Ia tampak kokoh, bahkan meyakinkan.
Namun, para sufi memandang fenomena ini laksana istana pasir di tepi pantai. Megah dan memesona sesaat, namun di dalamnya hampa dan hanya menunggu waktu untuk tersapu ombak. Kekuatan yang mengikat persekongkolan dalam keburukan bukanlah cinta atau kebenaran, melainkan kepentingan sesaat, topeng dari ketakutan, dan ego yang saling menguatkan. Fondasinya rapuh karena ia dibangun di atas ketiadaan nilai-nilai ilahiah.
Mengapa ia pasti akan buyar? Karena sifat dasar dari keburukan itu sendiri adalah merusak. Ia tidak hanya merusak "yang lain", tetapi juga menggerogoti "diri sendiri" dari dalam. Ketika sebuah kelompok bersatu bukan karena cahaya, melainkan karena kegelapan, maka kegelapan itu pada akhirnya akan memangsa mereka. Di sinilah pengkhianatan menjadi keniscayaan. Iri hati, dengki, dan curiga adalah anak-anak kandung dari persekutuan yang tidak didasari oleh ketulusan. Ketika porsi tak lagi terasa adil, ketika satu merasa lebih berhak dari yang lain, saat itulah bangunan rapuh itu mulai retak dan akhirnya runtuh berkeping-keping. Keburukan tidak akan pernah abadi, sebab ia tidak memiliki akar yang menancap pada hakikat kebenaran.
Kunci Pembuka: Memahami "Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang"
Lalu, bagaimana kita bisa selamat dari pusaran energi negatif seperti iri, dengki, dan khianat yang bisa menjebak siapa saja? Para arif billah (orang-orang yang mengenal Allah) sering mengajak kita untuk merenungi kalimat yang paling sering kita ucapkan: Bismillahir-Rahmanir-Rahim.
Pernahkah kita bertanya, mengapa setelah menyebut Asma "Allah", yang ditekankan justru dua sifat-Nya yang paling agung: Maha Pengasih (Ar-Rahman) dan Maha Penyayang (Ar-Rahim)?
Ar-Rahman adalah sifat kasih Allah yang melimpah ruah kepada seluruh makhluk-Nya, tanpa terkecuali. Ia tercurah laksana hujan yang membasahi semua, baik kepada pendosa maupun kepada orang yang taat, kepada kawan maupun kepada lawan. Ini adalah cermin kasih universal yang tidak membeda-bedakan. Ia mengajarkan kita untuk melihat kebaikan bahkan pada mereka yang kita anggap buruk, karena pada hakikatnya, setiap ciptaan adalah manifestasi dari kasih-Nya.
Ar-Rahim, di sisi lain, adalah sifat sayang Allah yang lebih khusus, yang diberikan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman dan berupaya mendekat kepada-Nya. Ini adalah kehangatan pelukan ilahi bagi mereka yang rindu dan berjalan menuju-Nya.
Kombinasi keduanya adalah kunci. Dengan menghayati Ar-Rahman, hati kita dilatih untuk tidak mudah membenci atau menghakimi. Kita diajak untuk memandang dunia dengan kacamata kasih yang luas. Pandangan ini secara otomatis akan memadamkan api iri dan dengki, karena kita sadar bahwa semua yang diterima oleh orang lain juga berasal dari sumber kasih yang sama, yang tak terbatas.
Selanjutnya, dengan meresapi Ar-Rahim, kita membangun hubungan vertikal yang kokoh dengan Sang Sumber Kasih. Ketika hati kita terhubung dan merasa cukup dengan kasih sayang-Nya, kita tidak akan lagi mencari pengakuan atau validasi dari persekongkolan yang rapuh. Ketergantungan kita bukan lagi pada manusia, melainkan pada Allah. Inilah benteng terkuat yang akan melindungi kita dari godaan untuk berkhianat dan dari rasa sakit saat dikhianati.
Maka, lolos dari jerat perputaran sikap negatif bukanlah dengan melawan kegelapan dengan kegelapan yang sama. Melainkan dengan menyalakan cahaya di dalam diri. Cahaya itu bernama Bismillahir-Rahmanir-Rahim. Ia adalah pengingat bahwa segala sesuatu dimulai dengan kasih dan diakhiri dengan sayang. Persekongkolan dalam keburukan akan selalu hancur karena ia tidak pernah dimulai dengan "nama-Nya", melainkan dengan nama ego dan kepentingan. Dan apa pun yang tidak dimulai dengan-Nya, pasti akan terputus dan fana.
Comments
Post a Comment